Sunday, February 19, 2017

Miris Bireuen dipelintir jadi Kota Seratus Ribu; Siapa Yang Salah?

Tulisan ini bukan untuk membenarkan terhadap mereka yang menghujat, tidak pula untuk membela ketimpangan hukum yang sedang terjadi. Mari sebelumnya kita berfikir secara rasional, dengan melihat permasalahan tanpa memfonis terlalu vulgar antara pihak pro dan kontra hanya dengan membaca sebuah judul berita.

Sebelumnya, mari kita simpan dulu sejenak ego dan melihat ke akar permasalahan. Kata orang Aceh, "Ule jet sama bulat, pikiran han saban caroeng", jika diartikan setidaknya begini; Jangan suka langsung menjudge seseorang apa lagi menyamai suatu kaum/kelompok/komunitas hanya berdasarkan pernyataan dari satu, dua, atau beberapa orang  tidak terkendali di dalamnya, karena pemikiran setiap orang pasti berbeda-beda.

Ibarat membalut luka yang sudah terinfeksi, fungsi perban hanya akan menupi luka agar tak terlihat oleh mata, dan luka yang terinfeksi tidak akan sembuh begitu saja tanpa ada upaya membersihkan dan mengobati luka tersebut.

Sejatinya seorang manusia yang mengakui tanah kelahirannya, tempat dimana mereka berpijak mulai sejak turun temurun tentu tidak akan menerima jika nama daerah asalnya dipelintir oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, apa lagi dengan sebutan-sebutan negatif. Tentu hal ini akan memperburuk citra daerah tersebut mata publik.

Bireuen, yang julukannya Kota Juang, belakangan ini dipelintir menjadi Kota Uang atau Kota Seratus Ribu, dengan maraknya isu-isu yang beredar bahwa ada sebagian masyarakat yang telah menjual suaranya dalam pesta demokrasi Pemilukada kepada salah satu kandidat untuk mendapatkan kursi Bireuen 1.

Memberi julakan Kota Seratus Ribu sungguh sangat menyanyat dihati, melihat sejarah Bireuen sebagai salah satu daerah yang paling berjasa dalam memperjuangkan NKRI, Pendopo Bireuen yang merupakan tempat pengasingan presiden pertama RI, kini telah tercoreng namanya, sehingga banyak pihak yang tidak terima pun dengan spontan juga membalas menjudge kepada orang-orang yang telah melukai marwah Kota Juang dengan julukan miris Kota Seratus Ribu.

Di sini penulis ingin mencoba meredam perang status yang dilontarkan di socmed, antara pihak yang saling berargumentasi sesuai ego masing-masing, bukan dengan melihat sebab dan akibat, dan memberikan solusi untuk mengembalikan wangi-wangi semerbak nama Kota Juang Bireuen.

Indikasi Politik uang oleh salah satu kandidat di Bireuen memang sudah tercium tajam, dan menjadi rahasia umum karena dilakukan secara terang-terangan sampai beredarnya rekaman video yang sudah viral di socmed Facebook, dan Youtube tentang praktik money politic.

Baca: http://aceh.tribunnews.com/2017/02/18/koalisi-ngo-ham-ada-indikasi-politik-uang-di-bireuen

Kita tentu sangat kecewa dan mengutuk isu Kota Seratus Ribu karena meskipun benar keadaannya demikian, tidak baik dan tidak patut nama Bireuen yang dikorbankan. Masih banyak juga pemilih yang bersih tanpa terpengaruh dengan politik uang.

Begitu juga kepada yang merasa tersinggung, membalas menyerang dengan Update War di status facebook dan Twitter tidak akan menyelesaikan masalah apabila emosional yang ikut berbicara, bukan dengan pikiran yang jernih dan hati yang teduh.

Mari kita lihat nilai-nilai positifnya terlebih dahulu, mungkin saja masyarakat merasa tidak puas, masih terlalu haus akan keadilan, serta ketidak hadirannya politik yang bersih sesuai dengan fungsi konstitusi yang berlaku.

Namun cara penyampaian mereka yang salah karena bukan melalui jalur hukum yang sebagaimana mestinya.

Di sini lah peran kita bagi siapa pun yang mengerti dan peduli terhadap tegaknya Keadilan dan Supremasi Hukum, kita tidak hanya menjadi pengamat di socmed dan sibuk saling menghujat sana sini tanpa menyelesaikan persoalan yang menyebabkan tercemarnya nama baik Bireuen.

Kita semua yang cerdas yakin, bahwa yang mempelintir Bireuen dengan nominal Seratus Ribu adalah ciri-ciri dari orang yang tingkat kadar intelektualnya rendah.

Perlu untuk kita menanamkan kepada mereka sifat bela bangsa dan nilai-nilai moral dalam berkomunikasi yang baik dalam dunia perpolitikan.

Ketika ketimpangan hukum telah terjadi dan terbukti, salah satu alternatifnya adalah melalui jalur hukum. Indonesia adalah negara demokrasi, masyarakat boleh saja melakukan demo, dengan memperhatikan juga kaidah yang berlaku tidak keluar dari asas pancasila.

Hujjah warga di dunia maya boleh saja kita artikan sebagai bentuk demonstrasi oleh para pengguna media sosial yang tidak tahu kemana harus mengadu ketika pelanggaran yang menyangkut harkat dan martabat bangsa terjadi tanpa ada keadilan hukum yang ditegakkan.

Menutupi luka yang terinfeksi tidak akan menyembuhkan luka dari dalam, maknanya kita diam untuk menutupi adanya indikasi pelanggaran terhadap hukum, sikap ini tidak akan mampu memperbaiki sebab dan akibat yang akan berdampak pada Bireuen kedepan, malahan akan semakin mempermudah para penjahat politik menyebarkan virus-virusnya karena sudah tidak ada yang peduli dengan keadilan hukum.

Mari sejenak kita melupakan persoalan para kandidat yang tidak menang dalam pergulatan politik praktis ini, ketika kita sedang berbicara tentang penegakan hukum.

Kita terlalu sibuk dengan berbagai istilah, sampai penyebab yang sebenarnya dari kegaduhan ini mulai tidak terdeksi, padahal tindakan sogok-menyogok adalah pelanggaran hukum yang tidak bisa dianggap sepele.

Penting sekali karena jika memang Bireuen sedang dalam genggaman money politic, maka keadilan dan kesejahteraan masyarakat sedang dipertaruhkan, artinya Bireuen sudah di ambang kehancurannya.

Jika hari ini memang benar suara masyarakat bireuen bisa dihargai Rp100.000,00 perorang, tentu saja ini akan menjadi ancaman besar kedepan, bukan hanya oleh ancaman lokal bahkan ancaman dari luar pun sudah mulai bisa diwanti-wanti. Bagaimana jika suara masyarakat Bireuen kedepan dihargai sampai 1 Juta perorangnya oleh pihak Aseng? Tentu kita tidak pernah ingin hal ini terjadi.

Kita harus sadar bahwa kekuatan politik juga bersaing ditingkat global. Jika uang sudah diperioritaskan sebagai indikator keberhasilan dalam sistem demokrasi maka ekonomi masyarakat Aceh yang tergolong rendah tentu akan dijajah menggunakan Rupiah.

Mari kita mengajak, menghimbau kepada seluruh elemen masyarakat agar bisa menerima siapa pun yang terpilih sebagai Bireuen 1.

Namun kita juga tidak boleh diam saat pelanggaran hukum benar-benar sudah terjadi, dalam menjalankan demokrasi yang sebagaimana mestinya.

Jangan hanya menjadikan ajang Pemilukada sebagai tontonan politik semata wayang, namun perlu kita ingat tujuan dan peran bagi siapa pun yang menjadi sosok pemerintah benar-benar bisa menjalan amanah yang sesuai asas demokrasi.

Panitia Pengawas Pemilihan (panwaslih) selaku yang lebih berwenang dalam hal ini juga harus benar-benar komit untuk mengusut dugaan suap yang terjadi dalam pemilukada Bireuen. Panwaslih terbentuk atas rujukan UUPA dan harus sigap dalam menjalankan amanah masyarakat Aceh, karena pembiayaan panwaslih adalah jernih hasil keringat masyarakat Aceh sendiri.

Mari bersikap arif dan adil, kita mengutuk siapapun yang mempelintir nama Bireuen menjadi kota seratus ribu, dan sangat penting juga agar kita benar-benar melawan ketimpangan hukum baik terhadap pelanggaran HAM yang menyangkut berbagai tindak kejahatan dan juga KKN (Korupsi Kolusi dan Nepotisme).

-Aliansi Masyarakat Bireuen-

No comments:

Post a Comment